Part of My Life : Merasakan Melahirkan dengan Operasi Caesar
Melahirkan dengan proses operasi memang bukan hal yang baru lagi. Sering terdengar dan terbaca karena akses informasi yang mudah didapat. Namun, bagi sebagian masyarakat yang tinggal jauh dari perkotaan, melahirkan dengan proses operasi masih dianggap sebagai hal yang aneh. Sang ibu akan dianggap 'bukan ibu' karena tidak merasakan sakitnya melahirkan pervaginam. Padahal melahirkan dengan operasi caesar tak kalah perih dan menyakitkannya. Hanya saja beberapa orang harus melakukan operasi caesar karena kondisi-kondisi tertentu, seperti ibu yang mengalami Pre Eklampsi Berat (PEB), janin yang pergerakan di dalamnya lambat, letak sungsang, atau melintang seperti yang aku alami. Dan beberapa hal lainnya yang mengharuskan dokter untuk melakukan tindakan operasi.
Di saat kandunganku memasuki usia tujuh bulan, letak janin di dalam perut ternyata sungsang dengan posisi kepala di atas dan kaki di bawah. Karena kondisi seperti itu, dokter yang memeriksa kandunganku menyarankanku untuk rajin melakukan sujud agar posisi bayi bisa berubah sebelum badannya semakin besar dan memenuhi seluruh kantung ketuban. Keinginanku untuk melahirkan secara normal mendorongku untuk selalu mengikuti anjuran dari dokter kandunganku.
Tibalah saat kandunganku berusia 8 bulan, aku memeriksakan lagi letak posisi bayi di dalam perutku itu. Posisinya memang sudah berubah tapi hanya bergeser sedikit. Alhasil si adik letak lintang. Kepala di bagian kanan dan kaki di bagian kiri. Posisi ini masih adik 'pertahankan' hingga menjelang usia 9 bulan.
Karena usia kandungan sudah 9 bulan, aku mengajukan cuti melahirkan selama 3 bulan ke depan. Aku akan melahirkan di kota Sekayu, kampung halamanku. Tentu saat di sana, aku akan kontrol kandunganku dengan dokter kandungan yang berbeda dari dokter yang sudah memeriksa si adik selama 8 bulan ini.
Saat USG, letak adik masih juga melintang. Dan dokter kandungan itu menyarankan untuk melakukan operase caesar karena tidak mungkin bisa melahirkan secara normal. Hati mana yang tak sedih saat impian untuk melahirkan normal mesti dikubur. Tapi selalu aku yakinkan kalau melahirkan caesar tak akan menanggalkan predikatku menjadi seorang ibu. Aku akan tetap menjadi ibu bagi anak yang sudah kukandung selama 9 bulan ini.
Dokter menyerahkan tanggal untuk dilakukan operasi caesar kepadaku dan suamiku. Saat itu tak ada tanggal cantik yang ada di pikiranku. Hanya ada pikiran : si cantik yang ada di dalam kandungan ini harus segera dilahirkan karena aku sudah tak sabar menyambutnya. Tanggal 04 November menjadi tanggal pilihan kami.
***
Tanggal 3 November malam, aku, suamiku, ibu dan mertuaku berangkat menuju rumah sakit untuk persiapan operasi besok. Aku menginap di kamar VVIP dan operasiku dijadwalkan pukul 10 pagi. Aku sudah disarankan untuk puasa sejak pukul 12 malam. Karena aku menempati bed di kamarku sudah lewat jam makan malam rumah sakit, aku tak mendapatkan makan malam lagi. Lalu, aku dibelikan oleh suamiku makanan dari luar. Pecel lele dan roti bakar adalah makanan terakhirku sebelum berpuasa. Walaupun akan menghadapi operasi esok hari, entah kenapa malam itu aku makan dengan lahapnya, tak ada perasaan khawatir, dan tidur nyenyak. Semua itu aku lakukan agar aku tak stress menghadapi operasi perdanaku yang berpengaruh terhadap tekanan darahku. Hingga subuh hari, aku dibangunkan oleh suamiku untuk siap-siap. Sholat subuh, mandi (minimal sikat gigi), dan mencukur buku di area kemaluan. Dan pukul 06:30 WIB perawat jaga datang memeriksa tekanan darahku, kebersihan area perut bawah, memasangkan infus, dan memasangkan keteter.
Pukul 9 pagi, aku mulai dibawa ke IBS (Instalasi Bedah Sentral) tempat aku akan melakukan operasi caesar dengan menggunakan tempat tidurku. Pakaian yang melekat di tubuhku, kulucuti semua berganti dengan pakaian hijau khusus pasien bedah.
Memasuki ruangan bedah, aku mulai deg-degan. Aku sendirian bersama beberapa petugas. Mulai dari perawat, perawat anastesi, dan dokter anastesi. Dokter kandungan belum nampak di ruangan itu. Semua persiapan dilakukan. Aku yang sudah berada di ruangan bedah itu disuruh duduk di atas bed tempat dilakukannya operasi. Pakaian yang menutupiku dibuka bagian belakang dan dokter anastesi menyuntikkan bius di tulang belakangku, area agak ke bawah sedikit. Mungkin dekat tulang ekor, pikirku.
Perlahan reaksi dari obat bius menjalar ke tubuhku. Kepala terasa pusing dan penglihatan menjadi gelap. Kalau digambarkan seperti saat kita akan jatuh pingsan. Selang oksigen diletakkan di hidungku. Karena suamiku tak bisa masuk, jadi petugas yang ada di sanalah yang menemaniku. Dia adalah yuk Wulan, seorang bidan yang sudah kukenal saat aku bekerja di rumah sakit itu dulu. Dia yang menyemangatiku untuk tidak kalah dengan reaksi obat bius. Seolah tahu apa yang sedang aku rasakan, ia mengatakan kalau itu juga hal yang dia rasakan dulu saat dioperasi. Mengajakku untuk mengatur nafas dan banyak-banyak beristighfar. Perasaan mual pun muncul. Dan kini aku mengerti mengapa pasien yang akan dilakukan tindakan operasi mesti puasa lebih kurang 8 jam.
Setelah dirasa sudah membaik, petugas IBS menyuruhku untuk mengangkat kaki sebelah kananku. Tidak bisa diangkat sama sekali! Menggerakkan jaripun tidak bisa. Ditepuk-tepukpun tidak terasa hanya terasa kebas sedikit di sentuhan-sentuhan tangan. Oh! Ini rasanya dibius, kataku dalam hati.
(Sumber : hellosehat.com) |
Baju operasi yang warna hijau itu dijadikan tabir yang menghalangi penglihatanku akan proses pembedahan. Perasaan lapar dan kantuk juga menyerangku secara bersamaan. Tapi aku tak bisa melakukan apapun. Kudengar suara dokter dan perawat IBS sedang 'mengeksekusi' perutku. Banyak hal random yang dibicarakan oleh mereka. Sampai si adik terlahirpun, yuk Wulan mengatakan
'Nah, alhamdulillah. Sudah keluar Ki. Eh, banyak nian lilitannyo, Ki. Di lengan, di perut, samo di kaki'.
Wah, banyak sekali rupanya lilitan tali pusarnya. Jadi, wajar saja kalau si adik tidak bisa berputar di dalam perut karena tersangkut. Adik yang sudah keluar itupun langsung dibawa keluar untuk dibersihkan. Terdengar suara tangisannya yang begitu keras memecahkan keheningan ruangan operasi.
(Sumber : tirto.id) |
Tak berselang lama, adik dibawa kembali masuk dan menujuku untuk disusui. Dengan bantuan yuk Wulan, adik meraih ASI pertamanya. Proses ini dinamakan Inisiasi Menyusui Dini atau disingkat IMD. Proses wajib pasca persalinan untuk memberikan hak bayi yang baru lahir mendapatkan ASI pertamanya dan merasakan detak jantung sang ibu dalam dekapan hangat. Setelah dirasa cukup, si adik dibawa lagi keluar oleh yuk Wulan. Alhamdulillah adik lahir dengan sehat. Cukup anggota badan dan tidak terminum cairan ketuban sehingga tidak perlu diobservasi lama.
Setelah pertemuan singkat dengan si adik, aku kembali terdiam dengan rasa kantuk dan rasa dingin yang luar biasa. Badanku menggigil. Aku mencoba mencari yuk Wulan dengan pandanganku yang terbatas. Dia menyadari kalau aku mencarinya dan aku berbisik kalau aku kedinginan. Dia langsung menutupkan selimut yang ada di ruangan itu untuk menutupi daerah dadaku. Walau sudah ditutupi, aku masih merasakan dingin yang mengganggu sampai-sampai gigiku bergeretak. Doketr yang mengetahui hal itupun menyuruhku untuk bersabar sebentar lagi karena bekas operasiku sedang dijahit oleh beliau dan para perawat bedah lainnya. Terasa badanku agak sedikit bergoyang tapi tak ada rasa sakit.
Setelah sekian lama, akhirnya operasikupun selesai dan aku siap-siap akan dipindahkan ke ruang inap lagi. Turun dari bed operasi itu aku ditandu menggunakan kain yang melapisi tubuhku sejak awal. Keluar dari ruang operasi, ibu menyambutku dengan mata yang berkaca-kaca. Seakan-akan bersyukur yang teramat sangat karena anaknya telah melalui operasi yang menaruhkan nyawanya. Dan ini adalah kali pertamanya bagi ibu melihat anaknya dioperasi caesar karena kakak-kakak ipar perempuanku yang lainnya melahirkan secara normal semua. Ibu hanya takut kenapa-kenapa, bahkan kemungkinan terburukpun tak sanggup ia bayangkan. Tapi alhamdulillah, Allah masih mengizinkanku sehat dan selamat melewati operasi ini.
Tak lama keluar dari ruang operasi, dua orang perawat yang bertugas di rawat inap tempatku menginap beberapa hari ke depan sudah datang menjemputku. Mereka memasangkan kain untuk melapisi darah nifasku, meletakkan kain dan perlak, mengganti pakaian operasiku dengan kain panjang yang menutupi seluruh tubuhku. Aku minta ditambah selimut lagi karena rasa menggigil masih enggan pergi. Lalu dibawalah aku kembali ke kamar untuk istirahat.
Pukul 12 siang lewat 30 menit, aku tiba di kamar VVIP. Meskipun terasa lapar, tapi aku masih belum diperbolehkan makan. Mesti menunggu sampai jam 1 siang. Saat itu, tubuh bagian bawahku belum bisa kugerakkan sama sekali. Jadi aku tidur sejenak. Si adikpun belum bisa bertemu denganku karena masih diobservasi.
Akupun terbangun karena rasa nyeri. Rasa nyeri bekas jahitan di perut perlahan muncul bersamaan dengan jari kaki yang sudah bisa kukendalikan. Tapi kutahan agar tak membuat ibu dan suamiku khawatir. Hanya sedikit meringis yang kutunjukkan di wajah untuk memastikan kepada mereka kalau biusnya sudah mulai menghilang. Ibupun duduk di sampingku menyuapkan makanan yang sudah diberikan sejak tadi oleh pramusaji.
Menu makan siangku adalah bubur dan pasti ada telur rebus, untuk mempercepat penyembuhan lukaku. Aku yang ingin cepat pulih, tentu harus menghabiskan makanan kaya akan protein yang sudah diberikan untukku. Tak kalah, ibukupun membuatkanku putih telur kukus yang dia buat dan bawa dari rumah. Pokoknya selama satu bulan pasca melahirkan, menu makananku wajib ada putih telur rebusnya dan karena itulah luka bekas operasiku cepat mengering. Terima kasih untuk ibu yang begitu telaten memembuatkan menu putih telur rebus untukku. Entah sudah berapa kilo telur yang kuhabiskan hehe
Hal lain yang membuat pemulihanku terbilang cepat adalah karena aku berlatih sambil berbaring menghadap kanan dan kiri. Semata untuk memberikan ASI pertama alias colostrum kepada si adik. Karena aku belum bisa menyusui sambil duduk, jadi aku melakukannya smabil berbaring. Kutahan nyeri di perutku demi si adik. Saat adik menyusui sambil badan miringpun, sempat mengalami kesulitan. Bantal yang melapisi badanku mesti ditambah agar lebih tinggi sehingga adik jadi lebih leluasa menyusui. Namun, aku merasa hisapan adik tidak meluangkan payudaraku. Aku sempat berpikir, apakah ASI-ku cukup untuknya?
Aliran ASI pertama yang diberikan kepada adik sempat tersendat. Padahal payudaraku sudah bengkak. Aku mencoba memancingnya dengan hisapan adik tapi nampaknya tidak berhasil karena adik terlihat rewel. Akupun memompa tapi rasa nyeri luar biasa karena tampaknya payudaraku terlalu kering. Maka akupun mencoba mengolesnya dengan serum khusus payudara yang aman dikonsumsi oleh adik. Aku mencoba bersabar dan mengafirmasi diriku bahwa aku bisa memberikan ASI kepada si adik seperti saat aku memberikan Bagas dulu. Hanya bedanya saat ini belum keluar karena perlekatan mungkin belum tepat.
Dan beberapa hari berikutnya, aku sudah belajar duduk. Aku paksakan untuk belajar duduk agar lebih leluasa memberikan ASI kepada adik. Berkat itu, ASI-kupun lancar. Adik terlihat kenyang dan masih bersisa lebih untukku simpan sebagai ASI perah. Bahagia sekali rasanya bisa meng-ASI-hi kembali si adik walau malam sebelumnya sempat terceletuk dari mulut mertua pakai susu formula saja. Bukan karena tak mampu membeli susu formula, bukan pula tega dan egois kepada anak, tapi karena sudah tahu manfaat ASI yang luar biasa, makanya aku sedikit 'batu' dan buktinya ASI tetap keluar sampai kini si adik sudah berusia 10 bulan.
Setelah kurang lebih 3 hari aku dirawat inap, akupun pulang. Perawatan luka bekas operasipun mesti kujaga, termasuk saat mandi. Setiap mandi, area luka yang meski sudah dilapisi plester anti airpun mesti lapisi lagi dengan kain agar tak lembab dan menembus kena luka jahitan. Plester bekas jahitanpun mesti rajin diganti agar tak radang karena bakteri. Aku mandiri membersihkan sendiri luka karena ibuku takut dan ngeri melihat luka jahitan. Sempat timbul kemerahan di sekitar lem plester. Terasa gatal dan perih, jadi suamikupun menanyakan salep apa yang tepat diberikan. Salah seorang temannya yang apotekerpun menyarankan untuk menggunakan salah satu salep yang namanya pun sangat asing di telinga. Tapi alhamdulillah, radangnya cepat mereda dan kering. Begitupula dengan luka jahitannya. Jadi, aku bisa dengan leluasa mengoleskan minyak kelapa untuk membuat perutku yang berkerut dan sedikit menghitam agar glowing kembali.
Semoga cerita saya di atas sedikit membuka pikiran teman-teman sekalian bagaimana proses persalinan secara caesar itu. Prosesnya, rasa sakitnya, dan upaya penyembuhannya. Juga beban 'omongan orang lain' yang sekiranya tidak perlu dijadikan bagian dari cerita ini karena reaksi orang-orang di sekitar kita berbeda. Setidaknya, langkah apapun yang dilakukan untuk melahirkan generasi penerus ke dunia, baik melahirkan secara pervaginam (normal) maupun melalui operasi caesar, tetaplah perjuangan yang tak bisa dianggap mudah dan murah. Ada risiko masing-masing yang diterima, salah satunya risiko yang paling besar adalah kematian ibu saat melahirkan. Saya harap ibu-ibu di luar sana tetap sehat agar risiko-risiko kematian ibu dan bayi dapat dihindari.