Cegah Stunting Kini, Masa Depan Cerah Menanti
Pintu bus terbuka dan kami
berbondong-bondong keluar. Berjalan beriringan menelusuri sebuah gang yang
cukup besar dan terdapat rumah besar dan bagus di kanan kiri. Suasana tampak
sepi. Belum terbayang dibenak hal apa yang akan ditemui dari tempat yang
sebagus dan sesepi ini.
Namun tanya itu segera terjawab
setelah memasuki sebuah lorong yang semakin kecil dan menyempit dari gang yang
menyambut kedatangan kami di awal. Lorong yang berbelok-belok menghantarkan
kami menuju suatu tempat. Pemukiman yang padat penduduk, rumah yang
berhimpit-himpitan hingga tumpukan sampah yang tak terjaga turut menghiasi
kepadatan itu.
Gambar 1. Jendela rumah yang tak berventilasi |
Gambar 2. Sampah yang dibiarkan menumpuk di sela-sela rumah |
Hari itu keadatangan kami bersamaan
dengan terselenggaranya kegiatan posyandu. Riuhnya peserta membuyarkan suara
keras yang dikeluarkan kader posyandu melalui microphone saat menyebutkan nomor urut. Meski peluh mengalir deras
di wajah para kader posyandu, mereka tetap memberikan pelayanan terbaik bagi
peserta yang sudah menyempatkan diri hadir di Posyandu Anyelir, Dempo,
Palembang.
Gambar 3. Peserta Posyandu yang mendapatkan snack |
Banyaknya balita yang datang bersama
ibunya membuat rasa ingin tahu muncul mengenai status gizi balita saat itu. Namun,
status gizi tidak bisa diinterpretasikan begitu saja lewat pengamatan biasa
secara fisik. Perlu melalui tahapan proses untuk menentukannya, mulai dari
pengukuran antropometri (berat badan, panjang/tinggi badan) sampai ditentukan
dengan perhitungan Z-score sehingga diperoleh hasil interpretasi berupa gizi
buruk, kurang, normal, lebih, sangat lebih untuk indeks BB/U, sangat pendek,
pendek, normal, tinggi, sangat tinggi menurut indeks TB/U dan sangat kurus,
kurus, normal, gemuk, obesitas dalam indeks BB/TB. Dan kini saatnya kita
berbicara mengenai status gizi menurut indeks TB/U yang masih dianggap sebagai
sesuatu yang lumrah terjadi.
Stunting atau “pendek”
merupakan suatu kondisi dimana status gizi balita yang kurang berdasarkan
indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kurang dari batas -2 SD dari hasil
perhitungan Z-Score. Stunting merupakan
masalah kesehatan gizi balita yang sering terjadi di negara-negara berkembang,
salah satunya Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data dari Riset Kesehatan
Dasar tahun 2013 bahwa kejadian Stunting pada
balita di Indonesia masih sangat tinggi mencapai 37,2% dan mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu 35,6% di tahun 20101. Didukung
pula dengan anggapan bahwa stunting adalah
hal biasa di lingkungan masyarakat karena paradigma yang muncul di kalangan
awam stunting atau pendek bukan suatu
masalah dan hadirnya disebabkan faktor keturunan (genetik) yang berasal dari
kedua orang tua yang juga bertubuh kecil. Perlu diketahui bahwa tubuh
pendek, faktor penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi
sampai anak usia 2 tahun dan dapat dirubah serta diperbaiki (WHO, 1997)
(Barker, 1995)2.
Ani, seorang peserta Posyandu Anyelir,
saat ditanya mengenai kondisi gizi buruk dan kurang di lingkungannya, ia
mengatakan bahwa balita yang mengalami gizi buruk dan kurang itu sama.
Sama-sama memiliki tubuh yang kecil dan tidak sesuai dengan umurnya.
“Di sini banyak balita yang kurus.
Itupun dari ibunya yang juga kurus. Biasanya balita yang sakit gizi buruk
dibawa ke Puskesmas untuk mendapat bantuan. Bantuannya berupa makanan,
obat-obatan, kadang diberi hadiah berupa uang”, ujar Ani.
Riwayat pola dan kondisi kesehatan
sang ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan anak. Ibu
yang kurus dan pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh kurus dan pendek
pada saat menginjak dewasa. Dikenal
istilah Lingkar Lengan Atas sebagai indikator bagi calon ibu untuk memiliki
anak karena jika angka LLA di bawah 23,5 cm dan tidak dilanjutkan dengan
perbaikan status gizi dan kesehatan sebelum dan selama kehamilan, maka berat
badan bayi yang dilahirkan akan rendah dan tinggi badan juga akan kurang. Meski
nanti di usia meranjak balita menerima asupan yang baik dan status gizi menjadi
normal, tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasannya. Bahkan di
usia dewasa, ia akan menjadi kurang produktif.
Maka di sinilah kita diajak untuk
lebih memahami lagi yang disebut gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan. 1000 HPK
ini dimulai dari usia kehamilan sembilan bulan hingga bayi yang dilahirkan
menginjak usia 2 tahun dan periode ini merupakan
periode yang menentukan kualitas kehidupan. Ada yang menyebutnya sebagai
"periode emas" dan "periode kritis"3. 1000
HPK juga dipercaya berkontribusi dalam menentukan generasi Indonesia ke
depannya, termasuk stunting atau
tidakkah balita ini kelak.
Jika selama 1000 hari pertama kehidupan ibu dan
orang terdekat calon bayi memperbaiki status gizi dan perilaku kesehatan mulai
dari kecukupan LLA, memperhatikan kebersihan lingkungan, cukup akses terhadap
air bersih, cuci tangan pakai sabun, tidak buang air sembarangan, makan makanan
yang bergizi, rajin konsumsi tablet tambah darah, memberikan ASI Eksklusif dan
rajin memantau petumbuhan balita, maka akan semakin banyak generasi masa depan
bangsa Indonesia yang sehat dan cerdas. Juga masalah gizi kurang kronis dan
gizi buruk akut dapat ditekan perkembangannya sehingga bantuan yang disalurkan
pemerintah dapat terfokus dalam pengadaan pelatihan dan peningkatan pengetahuan
ibu dalam memahami gizi dan kesehatan untuk sang anak dan keluarga. Selain ibu
dan calon ibu, kader-kader kesehatan lainnya juga perlu mendapatkan pelatihan
yang layak agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan lebih terlatih lagi
untuk menentukan status gizi balita melalui penimbangan berat badan dan
pengukuran panjang/tinggi badan balita karena 0,1 cm dalam penentuan status
gizi sangat berarti.
Daftar Pustaka
1 Riset Kesehatan Dasar, 2013.
2,3
Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan, 2013